Setiap
negara di dunia ini pasti memiliki kota yang menjadi pusat pemerintahan, pusat
peradaban atau kota yang menjadi wakil negara dan bangsanya. Di negara ini
semua orang pasti tahu kota apa, ya Jakarta. Kota Jakarta adalah kota
metropolis, kota urban dan juga ibu kota bagi negara Indonesia kita ini.
Jakarta adalah kota yang memiliki seribu satu wajah, setiap orang akan menilai
Jakarta berbeda-beda, tergantung latar belakang si homo jakartensis itu
sendiri.
Setidaknya bagi
sebagian orang Jakarta adalah: Kota yang setiap harinya tidak pernah tidur, setidaknya
bagi kaum sosialita kelas atas. Kota metropolitan dan metropolutan,
metropolitan karena di Jakarta-lah pusat pemerintahan dijalankan pun dengan
sektor ekonominya. Lalu metropolutan, karena hanya di Jakarta polusi dari asap
kendaraan menjadi konsumsi paru-paru masyarakatnya, bukan oksigen yang
benar-benar bersih dan segar, yang paling terkenal tentu metromininya. Kota
sejuta mimpi, setidaknya menurut mereka yang tinggal di pedesaan mendambakan
hidup enak dan mapan lalu pergi merantau ke Jakarta. Kota krimainalitas, bagi
mereka yang baru pertama datang atau yang sudah lama tinggal di Jakarta dan
sering menjadi korban tindak kejahatan, di Jakarta-lah para penjahat dari kelas
teri sampai kakap berinovasi dalam modus dan operasi kejahatannya, penjahat
Jakarta adalah penjahat cerdas. Kota macet, ini semua orang tahu, bahwa tak ada
beda mobil sport keluaran terbaru dengan bajaj, bajaj mampu mengimbangi
kecepatannya. Setidaknya hanya itulah sepilihan kesan mengenai Jakarta, tentu
semua orang memiliki persepsi masing-masing, sekali lagi tergantung kepentinan
dan kepedulian terhadapnya lah yang membedakannya.
Sebelum bergerak lebih
jauh, ada yang menarik dari pernyataan “Jakarta adalah Ibu Kota Indonesia”.
hanya di Indonesia lah kota yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban
dikatakan sebagai Ibu. Di negara lain cenderung memakai kata pusat (capital) menjadi capital city. Pusat kota atau kota pusat, begitulah bangsa lain
menamakannya. Apakah karena kita telah memiliki Jakarta Pusat?
Lalu mengapa kita harus menyebutnya dengan Ibu? Apakah Jakarta itu memiliki sifat
feminim? Dari namanya kita dapat berpandangan bahwa nama Jakarta adalah sesuatu
yang melelaki, jantan dan maskulin. Buktinya bila kita sedikit mengkontruksi
nama tersebut, misal menjadi Jaka, Jakaria, Jak, atau Karta, bukankah semua
nama tersebut identik dengan laki-laki? dan bukankah kota Jakarta adalah
satu-satunya benda mati yang memiliki alat kelamin, coba hilangkan silaba {ta}
akan menjadi Jakar, itu adalah alat kelamin laki-laki bukan? Atau jangan-jangan
Jakarta adalah satu-satunya benda yang memiliki kelamin ganda? Sangat menarik
bukan.
Lalu apakah salah dan
akan berpengaruh arti sebuah nama? Jawabannya Bukankah nama adalah sebuah doa? Memang
tidak ada yang salah dengan kata Ibu, Jakarta jadi mempunyai kesan ialah induk,
sesuatu yang harus dihormati dan penting, juga kota yang telah melahirkan
berbagai produk. Jika kita analogikan dan berpikir Ibu disana maknanya sama
seperti ibu yang sebenarnya;ibu manusia; berarti Jakarta adalah seorang ibu
yang harus melahirkan juga merawat anak dan melayani suaminya. Lalu siapakah
anak dan suaminya itu?
Tidak pasti sebenarnya
siapa anak dan suami dari seorang “Jakarta”, toh si “Jakarta” pun belum dapat
kita pastikan apakah ia adalah seorang ibu atau justru ayah. Namun bila kita padankan
tingkatannya dan beranggapan Jakarta adalah Ibu lalu yang menjadi suami itu
adalah kota-kota lain di Indonesia agaknya kurang tepat pula. toh kota besar
lainnya juga ada yang merangkap sebagai Ibu Kota provinsi dan kota/kabupaten. Dan
jika dianggap sebagai seorang anak, maka Jakarta adalah ibu dari seorang ibu
dan anak lainnya. Bila seperti itu dapat diartikan bahwa Jakarta selalu
“menyuruh” anaknya itu dan diharamkan bagi anaknya tersebut untuk membantah,
bilang “ahhh” pun dosa.
Kita tinggalkan dulu
persoalan silsilah keluarga diatas. Yang pasti Jakarta harus bertanggung jawab
atas satu hal, yaitu tanggung jawab atas citra dan pandangan kaum luar mengenai
Indonesia. Citra Indonesia di mata dunia telah dirusak oleh Jakarta, padahal
kita tahu Indonesia bukan hanya Jakarta masih banyak daerah lain yang lebih
indah, lebih menarik dan lebih nyata dibandingkan dengan Jakarta. Layaknya
peribahasa kita, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Jakarta adalah kulit
durian yang kasar, berduri, menyakitkan dan tidak enak dipandang, dan orang
selalu melihat Indonesia melalui Jakarta, bahwa Jakarta adalah wakil Indonesia,
padahal tidak, Jakarta itu Indonesia tapi Indonesia bukan Jakarta. Ada daging
buahnya yang sangat manis dan legit di dalamnya. Dan itulah yang harus
dipertanggung jawabkan, mengembalikan pandangan mengenai Indonesia dan merubah
Jakarta secepatnya.
Jakarta harus mempunyai
penampilan yang menarik dan indah, itu dapat didapatkan dengan mengubah pola
pikir dan pandangan para homo jakartensis. Bahwa Jakarta adalah miliknya yang
harus dirawat dengan baik. Jika terwujud hal seperti itu dalam benak manusia
jakarta dan mengenyampingkan kepentingan pribadi dan komersil, maka dapat
dipastikan pembangunan taman dan pengadaan ruang publik bagi masyarakatnya akan
lebih banyak dibandingkan dengan penambahan real estate atau pusat
perbelanjaannya. Tata kota Jakarta yang jauh dari ideal harus direnovasi agar
kota ini tidak menjadikan masyrakatnya sebagai kerikil.
Sistem transportasi
harus dibenahi. Sistem transportasi masal harus benar-benar diwujudkan dan
serius, bukan asal jadi atau berhenti ditengah jalan yang pada akhirnya
tiang-tiang fondasi atau bangunan yang telah dibuat tidak hanya menjadi prasasti
akhirnya. Pembatasan kendaraan pribadi pun mesti diperhatikan, karena sekarang
ini ruas jalan di Jakarta tidak sebanding dengan volume kendaraan yang masuk ke
kota ini. Bukankah Jakarta sedang menggalakan program Bike to Work? Saya kira
akan sulit terwujud jika jalanan kita masih banyak dipenuhi asap dan polutan
yang berbahaya. Pun serasa akan kepanasan ketika kita bersepeda pada waktu
siang sedang terik? Karena itu mulailah program penghijauan yang selama ini
hanya menjadi kentut, hanya tercium baunya saja, sedangkan wujudnya masih jauh
dari harapan.
Pun dengan masalah
mental, perilaku dan kebudayaan manusia Jakarta. Sebagai kota urban yang
heterogen dan plural, seharusnya Jakarta bisa menjadi contoh dari keindahan
rasa menghargai sesama, tenggang rasa dan gotong royong. Manusia yang beragama
suku, agama dan budaya yang tinggal di Jakarta seharusnya menjadi modal untuk
menciptakan Jakarta yang nyaman dengan terwujudnya keadilan sosial bukan malah
konflik sosial. Di Jakarta kebudayaan seharusnya lebih berkembang dengan
ke-heterogen-an tadi karena di sana akan terjadi kontak budaya dan bahasa yang
berasimilasi dan menghasilkan kebudayaan baru yang kontemporer dan inovatif.
Pola pikir manusia
Jakarta yang individualistis dan mata duitan harus dirubah, dengan pemerataan
kesejahteraan di kota atau daerah lainnya dengan pembangunan lapangan kerja.
Tata krama harus dibangun kembali jangan sampai terjadi lagi tetangga matipun
kita tidak tahu. Semua yang berbau kapitalis dan hedonisme harus dikurangi,
cintai negeri sendiri dan gunakan SDM juga SDA yang ada di negeri kita. para
pemimpin dan wakil rakyat harus orang yang bertanggung jawab dan mempunyai rasa
peduli dan memilki terhadap sesama.
Memang mudah jika kita
hanya berkata-kata, tapi kita dapat coba dalam lingkungan yang paing kecil
yaitu dari diri sendiri. Semua hal besar dimulai dari langkah kecil, asalkan
kita serius, berkomitmen dan berusaha. Pada akhirnya Jakarta akan menjadi kulit
yang mulus, bersih dan menarik. Jakarta akan menjadi miniatur Indonesia. Jangan
jadikan Jakarta itu hanya kentut, seperti yang ditulis oleh Seno Gumira
Ajidarma melalui bukunya Kentut Kosmopolitan, bahwa “Jakarta adalah ibukota
yang tak lebih dari kampung besar nan sontoloyo. Yang berisi kentut jutaan
orang. Termasuk di dalamnya adalah kentut gagasan, kentut harapan, dan kentut
keputusasaan. Maka apalah artinya sebuah kentut tambahan di tengah jutaan
kentut lainnya. Manusia Jakarta yang menghidupi dan dihidupkan kentut?”
Salam.
0 komentar:
Posting Komentar