Minggu, 07 Oktober 2012

Ketika Anak-anak tak lagi Memiliki Dunia dan Teladannya



            Anak-anak adalah anugerah yang paling indah yang pernah diberikan oleh Tuhan kepada semua orang tua. Betapa beruntung dan bersyukurnya bagi mereka yang telah dikaruaniai buah hati, apalagi bila sang buah hati menjadi orang yang diharapkan orang tua dan menjalani kehidupan yang menyenangkan. Selanjutnya yang menjadi tanggung jawab dari semua orang tua, yaitu mendidik dan memberinya pemahaman mengenai hidup, perilaku dan budi pekerti.
            Disinilah fase dimana kemampuan atau layak tidaknya menjadi orang tua dipertaruhkan, yaitu ketika harus membimbing anaknya dan memberinya hal yang memang dibutuhkannya. Setidaknya sampai umur anaknya bisa memasuki jenjang sekolah formal kemampuan sang orang tua harus berbicara.
            Seperti kita tahu bersama bahwa cara belajar anak-anak adalah melalu peniruan. Apa yang dilihat dan didengar olehnya akan ia tiru, walaupun sebenarnya si anak tidak tahu maksud dari apa yang dilakukakannya tersebut. Pun anak adalah cetak biru (blue print) orang tuanya sendiri, maka sifat dari orang tuanya akan juga berdampak dan “menular” pada anaknya. Karena itulah mengapa kita bisa mengenal peribahasa, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.
            Dewasa ini perkembangan zaman semakin tak terkendali, banyak hal yang sebelumnya tidak dibayangkan ada ternyata terjadi pada masa ini, akibatnya masyarakat belum mengetahui resiko apa yang nanti akan ditimbulkan. Seperti perkembangan arus teknologi komunikasi yang semakin menggila. Perkembangan semacam ini tidak hanya akan berdampak kepada orang yang tua saja juga kepada anak dan proses perkembangannya. Kini anak-anak tidak saja dididik oleh orang tuanya saja, tapi juga “diasuh” televisi, “disusui” oleh internet dan dipengaruhi oleh lingkungannya.
            Orang tua sebagai pihak yang paling dekat dengan anak harus menjadi contoh atau teladan bagi anaknya, ketika dirumah anak akan melihat apa yang biasa kita lakukan, apa yang ita ucapkan dan sifat kita sehari-hari, yang akan berdampak pada si anak pula. itu ketika si anak sedang berada bersama orang tuanya dirumah, lalu siapa dan apa yang bisa dijadikan teladan bagi mereka ketika menonton tv, di sekolah dan lingkungan bermainnya? Ketiga hal terakhir tadi memang sangat mempengaruhi perilaku sang anak.
            Rumah mana sekarang ini yang tidak memiliki televisi? Televisi telah menjadi barang primer bahkan tersier mungkin bagi sebagian orang. Hiburan dirumah satu-satunya mereka anggap hanya bisa diperoleh dengan menonton televisi, para orang tuapun seperti itu, mereka tidak menyadari bahaya apa yang sebenarnya ada dibalik televisi. Dengan dalih dan alasan agar anaknya tidak menangis dan membuat anak diam para orang tua membiarkan sang anak menonton televisi sembari mereka melakukan kesibukannya masing-masing. Padahal ketika itulah televisi mulai “menularkan” racunnya yang manjur kepada pikiran sang anak. Apa yang ditampilkan dalam televisi tersebut akan dianggap sebagai teladan bagi sang anak, entah itu yang buruk maupun yang baik.
            Apabila si anak tidak menemukan sosok teladan di rumah, maka ia akan mencarinya di sekola, televisi dan jalan. Kita ketahui bersama bahwa stasiun televisi Indonesia banyak menayangkan tayangan sinetron dan infotainment mengenai publik figur atau artis. Itulah bahayanya ketika anak menganggap sinetron atau publik figur tersebut adalah teladannya maka tindak tanduknya akan ia turuti.
            Kita tahu anak-anak sekarang telah menjadi komoditas bagi industri hiburan, khususnya televisi. Banyak bermunculan artis cilik atau anak yang masuk televisi, mending ketika mereka membawakan hal yang sesuai dengan umurnya tersebut, parahnya banyak anak sekarang yang berpenampilan sangat dewasa dan membiacarakan hal-hal yang dewasa pula, tidak cocok dengan umurnya. Akibatnya banyak anak yang mencoba meniru dan berlomba untuk mencapai arah sana. Kita lihat contohnya ada boyband yang beranggotakan anak yang masih kecil dan sekarang menjadi banyak idola sebayanya, padahal penulis ingat pada umur seperti itu, kita masih beringus ria dan belum tau arti cinta, berbeda dengan sinetron sekarang yang memasang artis muda dan remaja sebagai pelakonnya, membiacarakan cinta seolah sudah dewasa dan dilakukan disekolah, sehingga tertanam dalam sukma si anak bahwa sekolah adalah ajang untuk bermain-main dan mencari jodoh.
            Padahal sebenarnya yang paling penting ketika anak-anak adalah proses perkembangan yang terlewati dan tuntas. ketika anak tidak melalui fase merangkak dan langsung berjalan justru kita harus bertanya-tanya, artinya ia tidak normal. Begitupun dengan anak-anak sekarang yang cenderung dewasa sebelum waktunya kita harus waspada dan khawatir, berarti ada proses perkembangan yang dilewatinya. Coba bayangkan apa yang terjadi ketika anak-anak tersebut menginjak umur dewasa, padahal dia sudah dewasa sebelumnya. Degradasi perilaku dan pikiranlah yang akan terjadi. Maka ditengah krisis kebudayaan dan gencarnya arus teknologi informasi orang tua pun harus memasang kuda-kuda dan pencegahan yang baik, jangan sampai anaknya terlantar, bukan masalah materil tapi mengenai mentaln dan perilaku anaknya.

Senin, 01 Oktober 2012

Jakarta, Kulit Durian Indonesia



            Setiap negara di dunia ini pasti memiliki kota yang menjadi pusat pemerintahan, pusat peradaban atau kota yang menjadi wakil negara dan bangsanya. Di negara ini semua orang pasti tahu kota apa, ya Jakarta. Kota Jakarta adalah kota metropolis, kota urban dan juga ibu kota bagi negara Indonesia kita ini. Jakarta adalah kota yang memiliki seribu satu wajah, setiap orang akan menilai Jakarta berbeda-beda, tergantung latar belakang si homo jakartensis itu sendiri.
Setidaknya bagi sebagian orang Jakarta adalah: Kota yang setiap harinya tidak pernah tidur, setidaknya bagi kaum sosialita kelas atas. Kota metropolitan dan metropolutan, metropolitan karena di Jakarta-lah pusat pemerintahan dijalankan pun dengan sektor ekonominya. Lalu metropolutan, karena hanya di Jakarta polusi dari asap kendaraan menjadi konsumsi paru-paru masyarakatnya, bukan oksigen yang benar-benar bersih dan segar, yang paling terkenal tentu metromininya. Kota sejuta mimpi, setidaknya menurut mereka yang tinggal di pedesaan mendambakan hidup enak dan mapan lalu pergi merantau ke Jakarta. Kota krimainalitas, bagi mereka yang baru pertama datang atau yang sudah lama tinggal di Jakarta dan sering menjadi korban tindak kejahatan, di Jakarta-lah para penjahat dari kelas teri sampai kakap berinovasi dalam modus dan operasi kejahatannya, penjahat Jakarta adalah penjahat cerdas. Kota macet, ini semua orang tahu, bahwa tak ada beda mobil sport keluaran terbaru dengan bajaj, bajaj mampu mengimbangi kecepatannya. Setidaknya hanya itulah sepilihan kesan mengenai Jakarta, tentu semua orang memiliki persepsi masing-masing, sekali lagi tergantung kepentinan dan kepedulian terhadapnya lah yang membedakannya.
Sebelum bergerak lebih jauh, ada yang menarik dari pernyataan “Jakarta adalah Ibu Kota Indonesia”. hanya di Indonesia lah kota yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban dikatakan sebagai Ibu. Di negara lain cenderung memakai kata pusat (capital) menjadi capital city. Pusat kota atau kota pusat, begitulah bangsa lain menamakannya. Apakah karena kita telah memiliki Jakarta Pusat?
Lalu mengapa  kita harus menyebutnya dengan Ibu? Apakah Jakarta itu memiliki sifat feminim? Dari namanya kita dapat berpandangan bahwa nama Jakarta adalah sesuatu yang melelaki, jantan dan maskulin. Buktinya bila kita sedikit mengkontruksi nama tersebut, misal menjadi Jaka, Jakaria, Jak, atau Karta, bukankah semua nama tersebut identik dengan laki-laki? dan bukankah kota Jakarta adalah satu-satunya benda mati yang memiliki alat kelamin, coba hilangkan silaba {ta} akan menjadi Jakar, itu adalah alat kelamin laki-laki bukan? Atau jangan-jangan Jakarta adalah satu-satunya benda yang memiliki kelamin ganda? Sangat menarik bukan.
Lalu apakah salah dan akan berpengaruh arti sebuah nama? Jawabannya Bukankah nama adalah sebuah doa? Memang tidak ada yang salah dengan kata Ibu, Jakarta jadi mempunyai kesan ialah induk, sesuatu yang harus dihormati dan penting, juga kota yang telah melahirkan berbagai produk. Jika kita analogikan dan berpikir Ibu disana maknanya sama seperti ibu yang sebenarnya;ibu manusia; berarti Jakarta adalah seorang ibu yang harus melahirkan juga merawat anak dan melayani suaminya. Lalu siapakah anak dan suaminya itu?
Tidak pasti sebenarnya siapa anak dan suami dari seorang “Jakarta”, toh si “Jakarta” pun belum dapat kita pastikan apakah ia adalah seorang ibu atau justru ayah. Namun bila kita padankan tingkatannya dan beranggapan Jakarta adalah Ibu lalu yang menjadi suami itu adalah kota-kota lain di Indonesia agaknya kurang tepat pula. toh kota besar lainnya juga ada yang merangkap sebagai Ibu Kota provinsi dan kota/kabupaten. Dan jika dianggap sebagai seorang anak, maka Jakarta adalah ibu dari seorang ibu dan anak lainnya. Bila seperti itu dapat diartikan bahwa Jakarta selalu “menyuruh” anaknya itu dan diharamkan bagi anaknya tersebut untuk membantah, bilang “ahhh” pun dosa.
Kita tinggalkan dulu persoalan silsilah keluarga diatas. Yang pasti Jakarta harus bertanggung jawab atas satu hal, yaitu tanggung jawab atas citra dan pandangan kaum luar mengenai Indonesia. Citra Indonesia di mata dunia telah dirusak oleh Jakarta, padahal kita tahu Indonesia bukan hanya Jakarta masih banyak daerah lain yang lebih indah, lebih menarik dan lebih nyata dibandingkan dengan Jakarta. Layaknya peribahasa kita, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Jakarta adalah kulit durian yang kasar, berduri, menyakitkan dan tidak enak dipandang, dan orang selalu melihat Indonesia melalui Jakarta, bahwa Jakarta adalah wakil Indonesia, padahal tidak, Jakarta itu Indonesia tapi Indonesia bukan Jakarta. Ada daging buahnya yang sangat manis dan legit di dalamnya. Dan itulah yang harus dipertanggung jawabkan, mengembalikan pandangan mengenai Indonesia dan merubah Jakarta secepatnya.
Jakarta harus mempunyai penampilan yang menarik dan indah, itu dapat didapatkan dengan mengubah pola pikir dan pandangan para homo jakartensis. Bahwa Jakarta adalah miliknya yang harus dirawat dengan baik. Jika terwujud hal seperti itu dalam benak manusia jakarta dan mengenyampingkan kepentingan pribadi dan komersil, maka dapat dipastikan pembangunan taman dan pengadaan ruang publik bagi masyarakatnya akan lebih banyak dibandingkan dengan penambahan real estate atau pusat perbelanjaannya. Tata kota Jakarta yang jauh dari ideal harus direnovasi agar kota ini tidak menjadikan masyrakatnya sebagai kerikil.
Sistem transportasi harus dibenahi. Sistem transportasi masal harus benar-benar diwujudkan dan serius, bukan asal jadi atau berhenti ditengah jalan yang pada akhirnya tiang-tiang fondasi atau bangunan yang telah dibuat tidak hanya menjadi prasasti akhirnya. Pembatasan kendaraan pribadi pun mesti diperhatikan, karena sekarang ini ruas jalan di Jakarta tidak sebanding dengan volume kendaraan yang masuk ke kota ini. Bukankah Jakarta sedang menggalakan program Bike to Work? Saya kira akan sulit terwujud jika jalanan kita masih banyak dipenuhi asap dan polutan yang berbahaya. Pun serasa akan kepanasan ketika kita bersepeda pada waktu siang sedang terik? Karena itu mulailah program penghijauan yang selama ini hanya menjadi kentut, hanya tercium baunya saja, sedangkan wujudnya masih jauh dari harapan.
Pun dengan masalah mental, perilaku dan kebudayaan manusia Jakarta. Sebagai kota urban yang heterogen dan plural, seharusnya Jakarta bisa menjadi contoh dari keindahan rasa menghargai sesama, tenggang rasa dan gotong royong. Manusia yang beragama suku, agama dan budaya yang tinggal di Jakarta seharusnya menjadi modal untuk menciptakan Jakarta yang nyaman dengan terwujudnya keadilan sosial bukan malah konflik sosial. Di Jakarta kebudayaan seharusnya lebih berkembang dengan ke-heterogen-an tadi karena di sana akan terjadi kontak budaya dan bahasa yang berasimilasi dan menghasilkan kebudayaan baru yang kontemporer dan inovatif.
Pola pikir manusia Jakarta yang individualistis dan mata duitan harus dirubah, dengan pemerataan kesejahteraan di kota atau daerah lainnya dengan pembangunan lapangan kerja. Tata krama harus dibangun kembali jangan sampai terjadi lagi tetangga matipun kita tidak tahu. Semua yang berbau kapitalis dan hedonisme harus dikurangi, cintai negeri sendiri dan gunakan SDM juga SDA yang ada di negeri kita. para pemimpin dan wakil rakyat harus orang yang bertanggung jawab dan mempunyai rasa peduli dan memilki terhadap sesama.
Memang mudah jika kita hanya berkata-kata, tapi kita dapat coba dalam lingkungan yang paing kecil yaitu dari diri sendiri. Semua hal besar dimulai dari langkah kecil, asalkan kita serius, berkomitmen dan berusaha. Pada akhirnya Jakarta akan menjadi kulit yang mulus, bersih dan menarik. Jakarta akan menjadi miniatur Indonesia. Jangan jadikan Jakarta itu hanya kentut, seperti yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma melalui bukunya Kentut Kosmopolitan, bahwa “Jakarta adalah ibukota yang tak lebih dari kampung besar nan sontoloyo. Yang berisi kentut jutaan orang. Termasuk di dalamnya adalah kentut gagasan, kentut harapan, dan kentut keputusasaan. Maka apalah artinya sebuah kentut tambahan di tengah jutaan kentut lainnya. Manusia Jakarta yang menghidupi dan dihidupkan kentut?”
Salam.

 
Header Image from Bangbouh @ Flickr