Anak-anak adalah anugerah yang
paling indah yang pernah diberikan oleh Tuhan kepada semua orang tua. Betapa
beruntung dan bersyukurnya bagi mereka yang telah dikaruaniai buah hati,
apalagi bila sang buah hati menjadi orang yang diharapkan orang tua dan
menjalani kehidupan yang menyenangkan. Selanjutnya yang menjadi tanggung jawab
dari semua orang tua, yaitu mendidik dan memberinya pemahaman mengenai hidup,
perilaku dan budi pekerti.
Disinilah fase dimana kemampuan atau
layak tidaknya menjadi orang tua dipertaruhkan, yaitu ketika harus membimbing
anaknya dan memberinya hal yang memang dibutuhkannya. Setidaknya sampai umur
anaknya bisa memasuki jenjang sekolah formal kemampuan sang orang tua harus berbicara.
Seperti kita tahu bersama bahwa cara
belajar anak-anak adalah melalu peniruan. Apa yang dilihat dan didengar olehnya
akan ia tiru, walaupun sebenarnya si anak tidak tahu maksud dari apa yang
dilakukakannya tersebut. Pun anak adalah cetak biru (blue print) orang tuanya sendiri, maka sifat dari orang tuanya akan
juga berdampak dan “menular” pada anaknya. Karena itulah mengapa kita bisa
mengenal peribahasa, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.
Dewasa ini perkembangan zaman
semakin tak terkendali, banyak hal yang sebelumnya tidak dibayangkan ada
ternyata terjadi pada masa ini, akibatnya masyarakat belum mengetahui resiko
apa yang nanti akan ditimbulkan. Seperti perkembangan arus teknologi komunikasi
yang semakin menggila. Perkembangan semacam ini tidak hanya akan berdampak
kepada orang yang tua saja juga kepada anak dan proses perkembangannya. Kini
anak-anak tidak saja dididik oleh orang tuanya saja, tapi juga “diasuh”
televisi, “disusui” oleh internet dan dipengaruhi oleh lingkungannya.
Orang tua sebagai pihak yang paling
dekat dengan anak harus menjadi contoh atau teladan bagi anaknya, ketika
dirumah anak akan melihat apa yang biasa kita lakukan, apa yang ita ucapkan dan
sifat kita sehari-hari, yang akan berdampak pada si anak pula. itu ketika si
anak sedang berada bersama orang tuanya dirumah, lalu siapa dan apa yang bisa
dijadikan teladan bagi mereka ketika menonton tv, di sekolah dan lingkungan
bermainnya? Ketiga hal terakhir tadi memang sangat mempengaruhi perilaku sang
anak.
Rumah mana sekarang ini yang tidak
memiliki televisi? Televisi telah menjadi barang primer bahkan tersier mungkin
bagi sebagian orang. Hiburan dirumah satu-satunya mereka anggap hanya bisa
diperoleh dengan menonton televisi, para orang tuapun seperti itu, mereka tidak
menyadari bahaya apa yang sebenarnya ada dibalik televisi. Dengan dalih dan
alasan agar anaknya tidak menangis dan membuat anak diam para orang tua
membiarkan sang anak menonton televisi sembari mereka melakukan kesibukannya
masing-masing. Padahal ketika itulah televisi mulai “menularkan” racunnya yang
manjur kepada pikiran sang anak. Apa yang ditampilkan dalam televisi tersebut
akan dianggap sebagai teladan bagi sang anak, entah itu yang buruk maupun yang
baik.
Apabila si anak tidak menemukan
sosok teladan di rumah, maka ia akan mencarinya di sekola, televisi dan jalan.
Kita ketahui bersama bahwa stasiun televisi Indonesia banyak menayangkan
tayangan sinetron dan infotainment mengenai publik figur atau artis. Itulah
bahayanya ketika anak menganggap sinetron atau publik figur tersebut adalah
teladannya maka tindak tanduknya akan ia turuti.
Kita tahu anak-anak sekarang telah
menjadi komoditas bagi industri hiburan, khususnya televisi. Banyak bermunculan
artis cilik atau anak yang masuk televisi, mending ketika mereka membawakan hal
yang sesuai dengan umurnya tersebut, parahnya banyak anak sekarang yang
berpenampilan sangat dewasa dan membiacarakan hal-hal yang dewasa pula, tidak
cocok dengan umurnya. Akibatnya banyak anak yang mencoba meniru dan berlomba
untuk mencapai arah sana. Kita lihat contohnya ada boyband yang beranggotakan
anak yang masih kecil dan sekarang menjadi banyak idola sebayanya, padahal
penulis ingat pada umur seperti itu, kita masih beringus ria dan belum tau arti
cinta, berbeda dengan sinetron sekarang yang memasang artis muda dan remaja
sebagai pelakonnya, membiacarakan cinta seolah sudah dewasa dan dilakukan
disekolah, sehingga tertanam dalam sukma si anak bahwa sekolah adalah ajang
untuk bermain-main dan mencari jodoh.
Padahal sebenarnya yang paling
penting ketika anak-anak adalah proses perkembangan yang terlewati dan tuntas.
ketika anak tidak melalui fase merangkak dan langsung berjalan justru kita
harus bertanya-tanya, artinya ia tidak normal. Begitupun dengan anak-anak
sekarang yang cenderung dewasa sebelum waktunya kita harus waspada dan
khawatir, berarti ada proses perkembangan yang dilewatinya. Coba bayangkan apa
yang terjadi ketika anak-anak tersebut menginjak umur dewasa, padahal dia sudah
dewasa sebelumnya. Degradasi perilaku dan pikiranlah yang akan terjadi. Maka
ditengah krisis kebudayaan dan gencarnya arus teknologi informasi orang tua pun
harus memasang kuda-kuda dan pencegahan yang baik, jangan sampai anaknya
terlantar, bukan masalah materil tapi mengenai mentaln dan perilaku anaknya.