Minggu, 30 September 2012

Modern Market (Ruang Semu Tanpa Manusia)


                 Saya tantang anda, dapatkah anda membeli barang disebuah minimarket, dan dari awal anda masuk sampai nanti keluar, anda ditantang untuk tidak mengeluarkan satu kata pun? Bagaimana? Bisa kah?
                Bukanlah hal yang sulit bukan? Memang bukan hal yang terlalu sulit untuk melakukannya, mari kita kronologikan kira-kira kejadiannya seperti apa; pertama, anda masuk dengan cara membukakan pintu yang tentu tidak perlu sandi suara untuk mendorongnya, karena di pintu telah tertulis, “dorong” pada satu pintu dan “tarik” pada pintu sebelahnya, lalu ketika anda masuk, kasir atau petugas minimarket yang berjaga akan menyapa anda dengan senyum dan kalimat, misal, “selamat datang di minimarket kami”, atau “ada yang bisa dibantu”. Apa perlu dijawab? Tak perlu, cukup dengan mengangguk dan tersenyum, beres kan? Setelah itu, kita cari barang yang kita perlukan, atau mungkin yang tidak diperlukan sama sekali, tak perlu repot-repot untuk mencari harga, tinggal tengok kebawah disana kita akan menemukannya, dan akhirnya kita bawa ke kasir. Di kasir kita menyerahkan barang yang kita beli, menunggu sebentar, harga yang harus kita bayar sudah tertera pada layar kecil, dan akhirnya tinggal kita bayar, tidak perlu berbicara bukan? Bila kasir itu menawarkan sesuatu, bisa kita tolak dengan menggeleng, atau bahkan dengan diam sekalipun, mereka akan mengerti. Dan akhirnya kita keluar dari minimarket itu, bagaimana mudah bukan? Dan saya yakin kasir atau petugas minimarket itu tidak akan berpikir macam-macam kepada kita, ia tidak akan menganggap kita orang bisu atau orang sombong, saya jamin itu.
                Mengapa saya berani menantang anda begitu? Saya hanya ingin membuktikan, bahwa modern market; seperti minimarket, hipermarket, dan lain-lain, telah menghilangkan identitas manusia dalam diri kita, yaitu sebagai makhluk sosial. Makhluk yang membutuhkan makhluk lainnya untuk hidup, untuk berinteraksi.
                Minimarket, dewasa ini semakin menjamur saja dimana-mana. Pertumbuhannya mencapai 42% dari tahun 2010 sampai 2011. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan mini market ini, dikhawatirkan pasar tradisional akan mulai ditinggalkan masyarakat, namun kiranya pasar tradisional mempunyai keunggulan dari minimarket, yaitu ketersediaan barang pokok yang dijual dengan harga murah dan langsung dari para tangan pertama yang memproduksi, dan mungkin hal itu pula akan hilang, dengan semakin gencarnya modernisasi dan percepatan dalam hidup kita.
                Sebenarnya yang dikhawatirkan bukanlah ketika pasar tradisional mulai ditinggalkan masyarakat, namun betapa masyarakat sangat membutuhkan kepraktisan, kecepatan, dan kemudahan dalam berbelanja, yang semuanya justru artifisial, mereka tidak peduli lagi terhadap kodrat manusia sebagai makhluk sosial, yakni salah satunya untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dan pasar tradisional ruang interaksi tersebut.
                Kecepatan, kepraktisan, kemudahan dan lain sebagainya yang mereka dapatkan denga berbelanja di minimarket justru membawa mereka terperangkap dalam halusinasi. Kegamangan identitas ketika mereka memuja percepatan tersebut. Dalam zaman postmodern seperti ini, nilai guna telah bergeser menjadi nilai tanda,hidup kita dikukung oleh tanda dan simbol. Kita tak peduli bahwa makanan pinggir jalan lebih enak daripada restaurant, karena kita bukan menikmati makanannya, tapi juga memakan gengsi. Dan inilah hebatnya produk kapitalis, hebat dalam promosi dan konsep-konsep yang dirubah.
                Minimarket ini dipenuhi tanda yang tidak “memanusiakan” kita. Ketika kita masuk saja sudah disuguhi dengan tanda “dorong“ dan “tarik”. Lalu kita masuk dan sang kasir menyapa, “selamat datang di minimarket kami”, itu pun kalau kita beruntung disapanya. Dan tahukah, bahwa kalimat itu telah diucapkan ribuan kali kepada orang-orang yang masuk dengan kalimat itu-itu saja, mereka mengucapkan itu tanpa ketulusan sama sekali, hanya sebuah paksaan, sebuah keharusan yang diperintahkan atasannya agar minimarketnya mendapat titel “ramah”. kasihan benar mereka, dipaksa untuk menjadi robot penyapa, lalu apa bedanya mereka dengan robot lingoroid yang bisa bicara itu?. Dan parahnya lagi mereka tersenyum, senyum penuh kepalsuan, senyum yang dipaksakan, dan kita tersenyum lagi penuh keterpaksaan.
                Lalu kita memilih barang yang kita inginkan, dan sekali lagi tanda muncul, yaitu harga-harga. Harga itu tercantum agar kita tak perlu bertanya kepada petugasnya mengenai harganya, semakin jelaslah bahwa kita telah dipaksa untuk bungkam. Kita tak bisa menawar dengan seenak hati, atau sekedar berbinacang barang mana yang lebih bagus atau yang lebih enak, seperti yang bisa kita dapatkan di pasar tradisional. Lalu kita bawa ke kasir dan mendapatkan tanda lagi, bukan seorang manusia utuh. Yakni harga total yang tertera di sebuah layar kecil yang sengaja mengarah kepada kita agar kita bisa membacanya tanpa perlu bertanya, “jadi berapa?” dan pertanyaan lain yang tidak diperlukan, walaupun hanya untuk sekadar berbincang. Oh ya lupa, mereka kan robot y? Dan akhirnya kita melewati lagi tanda dipintu tadi.
                Dapat dilihat betapa hebatnya tanda dibanding manusia, bisa menggan ti keberadaan manusia sekalipun. Dan akhirnya kita hidup didunia yang penuh dengan tanda, tanpa manusia, karena tanda menguasai kita, bukan kita yang menguasai tanda, hanya karena alasan kepraktisan, kemudahan, dan kecepatan, yang semuanya tidak berarti apa-apa dengan proses memanusiakan yang justru dibutuhkan dalam hidup. Dunia ini menyedihkan, betapa kecepatan dipuja. Semoga kita sadar, bahwa hidup terlalu indah untuk dilalui dengan senang, dan tuhan telah menciptakan hidup ini harus dengan perjuangan dan kesusahan, lalu mengapa manusia harus mempercepatnya?. Dana khirnya, “Selamat datang di dunia tanda kami!”.
 
Header Image from Bangbouh @ Flickr