Saya tantang anda, dapatkah anda membeli barang disebuah
minimarket, dan dari awal anda masuk sampai nanti keluar, anda ditantang untuk
tidak mengeluarkan satu kata pun? Bagaimana? Bisa kah?
Bukanlah
hal yang sulit bukan? Memang bukan hal yang terlalu sulit untuk melakukannya,
mari kita kronologikan kira-kira kejadiannya seperti apa; pertama, anda masuk
dengan cara membukakan pintu yang tentu tidak perlu sandi suara untuk
mendorongnya, karena di pintu telah tertulis, “dorong” pada satu pintu dan
“tarik” pada pintu sebelahnya, lalu ketika anda masuk, kasir atau petugas
minimarket yang berjaga akan menyapa anda dengan senyum dan kalimat, misal,
“selamat datang di minimarket kami”, atau “ada yang bisa dibantu”. Apa perlu
dijawab? Tak perlu, cukup dengan mengangguk dan tersenyum, beres kan? Setelah
itu, kita cari barang yang kita perlukan, atau mungkin yang tidak diperlukan
sama sekali, tak perlu repot-repot untuk mencari harga, tinggal tengok kebawah
disana kita akan menemukannya, dan akhirnya kita bawa ke kasir. Di kasir kita
menyerahkan barang yang kita beli, menunggu sebentar, harga yang harus kita
bayar sudah tertera pada layar kecil, dan akhirnya tinggal kita bayar, tidak
perlu berbicara bukan? Bila kasir itu menawarkan sesuatu, bisa kita tolak
dengan menggeleng, atau bahkan dengan diam sekalipun, mereka akan mengerti. Dan
akhirnya kita keluar dari minimarket itu, bagaimana mudah bukan? Dan saya yakin
kasir atau petugas minimarket itu tidak akan berpikir macam-macam kepada kita,
ia tidak akan menganggap kita orang bisu atau orang sombong, saya jamin itu.
Mengapa
saya berani menantang anda begitu? Saya hanya ingin membuktikan, bahwa modern
market; seperti minimarket, hipermarket, dan lain-lain, telah menghilangkan identitas
manusia dalam diri kita, yaitu sebagai makhluk sosial. Makhluk yang membutuhkan
makhluk lainnya untuk hidup, untuk berinteraksi.
Minimarket,
dewasa ini semakin menjamur saja dimana-mana. Pertumbuhannya mencapai 42% dari
tahun 2010 sampai 2011. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan mini market
ini, dikhawatirkan pasar tradisional akan mulai ditinggalkan masyarakat, namun
kiranya pasar tradisional mempunyai keunggulan dari minimarket, yaitu
ketersediaan barang pokok yang dijual dengan harga murah dan langsung dari para
tangan pertama yang memproduksi, dan mungkin hal itu pula akan hilang, dengan
semakin gencarnya modernisasi dan percepatan dalam hidup kita.
Sebenarnya
yang dikhawatirkan bukanlah ketika pasar tradisional mulai ditinggalkan
masyarakat, namun betapa masyarakat sangat membutuhkan kepraktisan, kecepatan,
dan kemudahan dalam berbelanja, yang semuanya justru artifisial, mereka tidak
peduli lagi terhadap kodrat manusia sebagai makhluk sosial, yakni salah satunya
untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dan pasar tradisional ruang interaksi
tersebut.
Kecepatan,
kepraktisan, kemudahan dan lain sebagainya yang mereka dapatkan denga
berbelanja di minimarket justru membawa mereka terperangkap dalam halusinasi.
Kegamangan identitas ketika mereka memuja percepatan tersebut. Dalam zaman
postmodern seperti ini, nilai guna telah bergeser menjadi nilai tanda,hidup
kita dikukung oleh tanda dan simbol. Kita tak peduli bahwa makanan pinggir
jalan lebih enak daripada restaurant, karena kita bukan menikmati makanannya,
tapi juga memakan gengsi. Dan inilah hebatnya produk kapitalis, hebat dalam
promosi dan konsep-konsep yang dirubah.
Minimarket
ini dipenuhi tanda yang tidak “memanusiakan” kita. Ketika kita masuk saja sudah
disuguhi dengan tanda “dorong“ dan “tarik”. Lalu kita masuk dan sang kasir
menyapa, “selamat datang di minimarket kami”, itu pun kalau kita beruntung
disapanya. Dan tahukah, bahwa kalimat itu telah diucapkan ribuan kali kepada
orang-orang yang masuk dengan kalimat itu-itu saja, mereka mengucapkan itu
tanpa ketulusan sama sekali, hanya sebuah paksaan, sebuah keharusan yang
diperintahkan atasannya agar minimarketnya mendapat titel “ramah”. kasihan
benar mereka, dipaksa untuk menjadi robot penyapa, lalu apa bedanya mereka
dengan robot lingoroid yang bisa bicara itu?. Dan parahnya lagi mereka
tersenyum, senyum penuh kepalsuan, senyum yang dipaksakan, dan kita tersenyum
lagi penuh keterpaksaan.
Lalu
kita memilih barang yang kita inginkan, dan sekali lagi tanda muncul, yaitu
harga-harga. Harga itu tercantum agar kita tak perlu bertanya kepada petugasnya
mengenai harganya, semakin jelaslah bahwa kita telah dipaksa untuk bungkam.
Kita tak bisa menawar dengan seenak hati, atau sekedar berbinacang barang mana
yang lebih bagus atau yang lebih enak, seperti yang bisa kita dapatkan di pasar
tradisional. Lalu kita bawa ke kasir dan mendapatkan tanda lagi, bukan seorang
manusia utuh. Yakni harga total yang tertera di sebuah layar kecil yang sengaja
mengarah kepada kita agar kita bisa membacanya tanpa perlu bertanya, “jadi
berapa?” dan pertanyaan lain yang tidak diperlukan, walaupun hanya untuk
sekadar berbincang. Oh ya lupa, mereka kan robot y? Dan akhirnya kita melewati
lagi tanda dipintu tadi.
Dapat
dilihat betapa hebatnya tanda dibanding manusia, bisa menggan ti keberadaan
manusia sekalipun. Dan akhirnya kita hidup didunia yang penuh dengan tanda,
tanpa manusia, karena tanda menguasai kita, bukan kita yang menguasai tanda,
hanya karena alasan kepraktisan, kemudahan, dan kecepatan, yang semuanya tidak
berarti apa-apa dengan proses memanusiakan yang justru dibutuhkan dalam hidup.
Dunia ini menyedihkan, betapa kecepatan dipuja. Semoga kita sadar, bahwa hidup
terlalu indah untuk dilalui dengan senang, dan tuhan telah menciptakan hidup
ini harus dengan perjuangan dan kesusahan, lalu mengapa manusia harus
mempercepatnya?. Dana khirnya, “Selamat datang di dunia tanda kami!”.